Pada pertengahan tahun 2019, dunia seakan terbangun dengan pergerakan ribuan orang (kebanyakan adalah kaum Urban) di bermacam kota di belahan dunia dengan turun ke jalan menuntut hadirnya kebijakan pencegahan dan aksi penyelamatan iklim. Di Indonesia aksi serupa terdiri dari buah hati muda, ibu-ibu, malah buah hati-buah hati hadir untuk menuntut aksi dan pengakuan dari pemerintah kepada penetapan status darurat iklim di Indonesia supaya kebijakan di bermacam sektor cakap dinasehati dengan patut.
Ketertarikan masyarakat urban juga tak lepas slot gacor hari ini dari bermacam kampanye info iklim dan lingkungan, diantaranya via media sosial dan penayangan bermacam film dokumenter. Pada permulaan tahun 2020, “Semes7a”, film karya Nicholas Saputra, Mandy Marahim, dan Chairun Nissa menyedot perhatian publik. Salah satunya sebab dalam film hal yang demikian terdapat contoh yang menarik untuk disorot yakni Soraya Cassandra ─ pemilik Kebun Kumara yang menyampaikan konsep dan gerakan urban gardening dan permaculture, sampai sekarang banyak merebak menjadi hobi baru bagi kaum urban/perkotaan terutamanya di masa pandemi covid-19. Kecuali itu, pada perayaan hari bumi 2020 diramaikan dengan penayangan film dokumenter global berjudul “The Story of Plastic” yang membuka mata dunia perihal catatan merah industri plastik, salah satunya dengan menonjolkan alangkah tak sehatnya kehidupan di perkotaan dengan hadirnya problem yang sistemik berkenaan dengan plastik, sekalian merekam usaha warganya untuk menangani keadaan sulit rumit berkenaan dengan lingkungan daerah tinggalnya, salah satunya via edukasi dan aksi pembelaan pembenaran implementasi kebijakan kantong plastik oleh Tiza Mafira di Indonesia.
Ilustrasi di atas tentu menonjolkan sebuah optimisme gaya baru ─seolah memutar balik fakta dan stigma warga kota di Indonesia kurang peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan aksi penyelamatan lingkungan, terutamanya di masa krisis iklim dan lingkungan ini. Seiring dengan munculnya bermacam inisiatif dalam pergerakan penyelamatan lingkungan oleh kaum urban/perkotaan hal yang demikian, memperkuat keperluan bahwa spektrum aksesibilitas atas keterhubungan alam dan kaum urban diterjemahkan ke dalam penyediaan aset-aset ekologi menjadi nilai esensial yang seharusnya terpenuhi dalam rangka meningkatkan ketangguhan warga kota itu sendiri.
Data KataData .com menunjukan fakta penduduk perkotaan diproyeksikan akan tumbuh sebanyak 154,2 juta jiwa atau 56,4% dari sempurna penduduk Indonesia yang sebesar 273,5 juta jiwa, karenanya kota sepantasnya cakap menolong untuk meningkatkan kwalitas hidup perkotaan, bukan cuma bicara mengenai pembangunan ekonomi dan investasi semata[1].
Melewati pengamatan penulis selama terlibat dengan kelompok sosial lingkungan dan sebagian gerakan lingkungan di Kota Semarang, sekalian menilik bermacam acuan yang ada, penulis menggali optimisme masa sekarang dari praktik dan tantangan kaum urban (terutamanya di Jawa) dalam usaha untuk terhubung dengan alam demi kehidupan yang bermutu di perkotaan.
Tantangan Hidup Dikepung Semen dan Beton
Dibalik optimisme yang seakan terus naik seiring pengerjaan kaum urban untuk “kembali ke Alam”, masih terdapat banyak rinci tantangan yang sesekali jarang membelenggu kaum urban itu sendiri. Problem tinggal di kota mungkin akan menyenangkan bagi beberapa orang, tetapi bagi yang lain, hidup bertahun-tahun semenjak lahir berdampingan dengan gedung, ruang padat, semen, beton, atau aspal dapat saja memengaruhi kwalitas hidupnya dari bermacam aspek.
Berdiskusi mengenai gaya hidup kosmopolitan kaum urban yang telah terbiasa dengan ruang dan gedung buatan ─memengaruhi pengerjaan alamiah seseorang untuk mendapatkan koneksinya dengan alam, boleh jadi seperti barang mahal. Dengan load profesi yang banyak dan rentan menghadapi stress, jalan masuk kepada ruang alam sesekali memberikan ketenangan pribadi secara jasmani dan mental ─malah, bagi buah hati-buah hati sekali bahkan. National Geographic Indonesia merilis tulisan yang menceritakan kesehatan mental buah hati diberi pengaruh oleh interaksi dengan alam dan ruang hijau[2]. Masuk inilah yang seharusnya sulit payah didapat oleh kaum urban yang kebanyakan tinggal di kawasan perkotaan.
Seandainya kita memperhatikan pengalaman Kota London komponen Tenggara, banyak proyek berupaya mengerjakan kesibukan restorasi tutupan lahan non-alamiah di kota, menjadi lahan yang alami dengan bermacam vegetasi di sepanjang sungai[3]. Taktik ini dipilih dengan tujuan untuk menjaga terbentuknya urban hydrology sembari meningkatkan jalan masuk publik kepada vegetasi dan zona hijau natural.
Di lain sisi, sebuah pengalaman didapat oleh penulis yang berinteraksi dengan ibu-ibu penggiat lingkungan di Kota Semarang. Mungkin kelihatan rindang kota mereka, beralasan dengan sudah tersedianya RTH (Ruang Terbuka Hijau) publik. Taman-taman dibangun dengan masif, yang seringkali memanfaatkan ruang sempit di sudut-sudut kota. Melainkan alih-alih dapat mengoneksikan antara alam dan slot888 warga kota dengan membawa suasana hijau yang asri (yang populer dengan istilah mendekatkan green infrastructure dengan urban grey infrastructure), menjadi sebuah kritik pada taman-taman kota di Indonesia yang justru kurang relevan dikala cuma didominasi dengan paving-paving beton, pentas hiburan, dengan sedikit pohon saja. Si-buah hati butuh interaksi yang lebih intim dengan alam tanpa sekat semen dan paving.
Sebagai tambahan, argumen masih lemahnya RTH publik yang diperparah dengan salah kira pembangunan taman ini dikuatkan dengan prosentase luasan rata-rata RTH publik per tahun 2012 oleh PUPR, yang dapat didapat penulis cuma sebesar 13%, dan rilis tulisan kabar kontan pada tahun 2014 RTH masih di bawah 30%[4]. Walau angka hal yang demikian benar-benar mungkin untuk bertambah, bagaimana bahkan konsisten saja tak akan mengalami perkembangan yang signifikan sekiranya paradigma mengenai ruang terbuka tak kunjung diberesi di wilayah perkotaan.
Rencana Pembangunan Demi Siapa?
Pada kasus lain, pembangunan berbasis penanggulangan musibah ekologi acap kali melupakan esensi dari pelibatan masyarakat, solusi yang ditawarkan oleh pembuat kebijakan seakan merupakan totaliter. Seringkali di kawasan urban kerjasama antar tempat dan warganya kurang dioptimalkan. Petaka dan kerentanan bahkan tak jarang dilahirkan dari rahim rencana pembangunan. Salah satunya implementasi tata ruang, yang seakan senantiasa hangat untuk didiskusikan.
Beberapa kasus musibah dan kerugian sosial di masyarakat ada sebab perencanaan ruang dan implementasinya yang acap kali terjadi tarik ulur kepentingan seperti penjabaran di atas. Keperluan daerah tinggal warga kota dan lahan industri yang banyak ─menyudutkan alih fungsi lahan kawasan urban yang terdominasi oleh bangunan-bangunan hal yang demikian, yang memberi pengaruh mulai dari penurunan muka tanah, berkurangnya tempat resapan, hingga banjir dampak run-off.
Di Kota Semarang, terdapat salah satu hutan di pinggir kota yang cukup gampang diakses warga yakni Hutan Penggaron, sekitar satu separuh hingga satu jam jaraknya dari kota. Melainkan, beberapa dari lahannya justru akan dimanfaatkan menjadi sebuah obyek liburan yang cukup masif bernama “Jateng Valley”. Sebagai sebuah lahan yang kaya akan keanekaragaman hayati, hutan ini bukan cuma sekedar obyek yang menciptakan oksigen semata. Skor untuk berinteraksi dan mengoneksikan relasi alam dan kaum urban di Kota Semarang menjadi tak sinkron dengan agenda peruntukan teritorial yang ada. Di samping itu, hutan natural juga cakap menjadi zona belajar, tanpa seharusnya dibangunkan sebuah fasilitas yang belum tentu menyokong kesibukan belajar yang diperlukan oleh warga kota ─ yang kurang didapat pada ekosistem buatan dengan biodiversity yang sudah berubah pula seiring pengerjaan pembangunan dan alih fungsi guna lahannya. Akibat lanjutannya merupakan enak alam yang dipersembahkan di sekitar kota tak dapat sustainable dinikmati oleh generasi penerus.
Eksistensi alam yang natural mesti perlu diperjuangkan kesahihannya ─terancam sedikit banyak akan berubah. Sebagai figur, dikala konstruksi dibangun alam akan cenderung untuk berubah atau tergantikan dengan kawasan hijau “buatan” lainnya. Keanekaragaman hayati orisinil yang telah lama bernaung di Hutan Penggaron akan rentan terancam perubahan. Khususnya lahan hal yang demikian juga sedikit demi sedkit kehilangan kecakapan yang dapat menyelamatkan musibah ekologi seperti banjir (hidrometeorologis) via konservasi air, makanan, ketahanan, dan mitigasi perubahan iklim juga akan berubah. Tentunya evaluasi kepada kesibukan investasi bisnis ini perlu ditinjau sebab belum tentu mengusung investasi hijau yang dibutuhkan. Mengutip pemaparan dari Riki Frindos ─Direktur Eksekutif Yayasan Kehati ─ Investasi ESG yang dikeluarkan oleh Indeks SRI-KEHATI (Socially Responsible Investing), bahwa investasi seharusnya disokong untuk mengedepankan iklim investasi kondusif rentang panjang, bukan cuma investasi rentang pendek saja. Khususnya, mengingat proyek Jateng Valley ini menuai pro dan kontra serta sempat terabaikan keberlanjutannya.
Optimisme Tepat Memandang
Digital usaha dan tantangan di atas, seiring perkembangan arus berita setidaknya terdapat dua pembuka optimisme yang tepat sasaran demi terus mengaitkan alam dengan kaum urban ketika ini. Komunikasi komputerisasi yang dimanfaatkan dalam format tipe kampanye komputerisasi. Kemudian ada gerakan dan jejaring kategori yang terdiri dari pembelaan (atas dan bawah) yang dikerjakan oleh kaum urban via banyak inisiatif-inisiatif lokal.
1) Komunikasi Berbagai, kaum urban terutamanya milenial dan generasi Z sudah mendominasi ruang komputerisasi. Kelompok kampanye kreatif dikerjakan untuk menggalang kepedulian. ini termasuk yang dikerjakan oleh media-media lingkungan dan organisasi sosial di Indonesia. Fenomena climate-strike di Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan kepada persepsi publik kepada perubahan iklim yang memang adalah keadaan sulit serius. Aseantoday.com mencatat sebanyak 71.0% responden survei di Indonesia mengatakan perubahan iklim adalah ancaman. Lalu kampanye sedotan plastik dan kantong sekali gunakan memberikan pengaruh yang besar bagi pemahaman kaum urban atas waste management di Indonesia yang memengaruhi gaya hidup bebas plastik yang termasuk permulaan dari mewujudkan relasi dengan alam.
2) Gerakan, Jejaring , dan Inisiatif lokal, gerakan cinta bumi dan jejaring kategori banyak terjadi di kawasan urban. Optimisme timbul mana kala pergerakan ini senantiasa dimotori dengan tujuan kolektif yang diimbangi dengan inisiatif lokal untuk mewujudkan kwalitas daerah tinggal di kota yang lebih bagus. Sebagai figur, munculnya inisiatif urban gardening dan composting oleh kaum urban menunjukan kepedulian hidup berkelanjutan dan berdampingan dengan alam. Lalu, kesibukan pembelaan ─seperti kantong plastik sekali gunakan di Jakarta dan Bali oleh Indonesia Diet Kantong Plastik (IDDKP) via edukasi dan kebijakan ─terang adalah format inisiatif kaum urban dalam memperhatikan slot demo wild west gold bahaya fenomena industri dan pemakaian kantong sekali gunakan yang kian masif saja di Indonesia.
Dengan demikian, terkoneksinya kebijakan dan gaya hidup dengan alam serta ekologi merupakan kunci bagaimana keanekaragaman hayati dan keberlanjutan lingkungan daerah tinggal cakap bermutu secara sepadan lebih-lebih bagi kaum urban.