Busana merupakan segi penting bagi kaum intelektual yang hendak menuntut pengetahuan dalam tempat tinggal akademiknya masing-masing. Mahasiswa dipandang bisa mengatur jenis pakaian bersama tempatnya berpijak, agar tak jarang lebih dari satu universitas di Indonesia berikan ruang kebebasan mengenakan pakaian bagi mahasiswanya. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro menjadi keliru satu ruang di mana mahasiswa bebas mengekspresikan dirinya lewat cara mengenakan pakaian gara-gara FISIP Undip sendiri tidak mempunyai ketentuan tertentu yang mengatur cara mengenakan pakaian mahasiswa. Lantas, apakah ruang kebebasan berikut membentuk iklim mengenakan pakaian di FISIP yang lebih baik atau malah menjadi bumerang?
Realitas Etika Berpakaian Mahasiswa
Di lingkungan FISIP, acapkali ditemui bet 10 ribu mahasiswa yang tidak memakai pakaian sesuai saran fakultas yang dicantumkan pada papan ketentuan di setiap sudut gedung kampus. Cindy (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020, mengaku sering melihat mahasiswa lainnya mengenakan pakaian yang kurang etis.
“Aku sering melihat banyak nih cewek yang pakai crop top di kantin atau jalanlah di FISIP. Terus jikalau dia angkat tangan nih, udelnya keliatan. Masih banyak termasuk ya yang memakai legging dan pakaian yang perlihatkan lekuk tubuh,” tutur Cindy kala dihubungi OPINI via telepon WhatsApp pada Minggu (04/06).
Hal sama termasuk dirasakan oleh Atilla Radja Satria, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2022. Ia mengaku dulu mendengar berasal dari dosen terkait mahasiswa yang pakai pakaian berbahan minim di kampus. Bahkan, ia sendiri dulu melihatnya secara langsung.
“Waktu itu, tersedia dosen yang menyebutkan tersedia mahasiswa yang memakai crop top. Padahal kan tidak dianjurkan. Aku termasuk dulu lebih dari satu kali melihat langsung tersedia yang memakai crop top, pakaian seksi gitu,” ujar Atilla kala ditemui OPINI pada Selasa (23/05).
Ragam Alasan Mahasiswa Tidak Mengikuti Norma
Banyaknya mahasiswa yang mengenakan pakaian kurang etis tidaklah luput berasal dari berbagai alasan. Rosafina Irena, mahasiswa Administrasi Bisnis Angkatan 2021 menyebutkan bahwa tidak adanya dampak pada cara mengenakan pakaian bersama tingkat kecerdasan mahasiswa menjadi dalih mereka mengenakan pakaian semaunya.
“Karena menurut mereka pakaian itu nggak memengaruhi tingkat kecerdasan mereka. Mereka berpikir bahwa pakaian itu tidak melukiskan kepribadian yang sesungguhnya,” ucap Rosafina kala dihubungi OPINI via pesan Line pada Kamis (01/06).
Pandangan tidak serupa disampaikan oleh Cindy, ia menyebutkan kurang tegasnya teguran yang diberlakukan agar kesadaran mahasiswa kian lama kian memudar.
“Lebih ke kurangnya kesadaran diri ya menurut aku. Mungkin gara-gara jarang tersedia yang menyapa mereka, apalagi dosen pun kadang sekedar ngeliatin doang, jadinya mereka oke-oke aja. Ibaratnya nggak tersedia yang negur saya nih, bermakna nggak apa-apa,” pungkas Cindy.
Baju Tanpa Kerah, Bisakah Dipakai Kuliah?
Tidak adanya regulasi tertentu yang mengatur cara mengenakan pakaian berasal dari pihak fakultas membawa dampak mahasiswa keliru untuk memilih jenis pakaian yang sesuai. Lantas, bisakah pakai kaos berkerah untuk berkuliah? Menjawab persoalan ini, Teguh Yuwono selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro menyebutkan bahwa mahasiswa diperbolehkan pakai kaos ke kampus, asalkan berkerah.
“Kaos termasuk nggak apa-apa ke kampus, tetapi kita selamanya berpikirnya tersedia kerahnya,” jelasnya kala ditemui OPINI pada Rabu (14/06).
Atilla mengungkap saran tidak serupa agar pemakaian kaos oblong selamanya keluar rapi dan sopan, yakni bersama memadukannya bersama outer.
“Kalau menurutku nggak apa-apa sih jikalau pakai sweater atau kaos. Tapi usahain pakai outer, biar lebih formal. Sesederhana itu tetapi kesannya bakal berbeda, jikalau dibandingkan cuma pakai kaos doang,” tuturnya.
Terkait bersama pemakaian blus tanpa kerah, sandal, dan ripped jeans di FISIP, Teguh lebih mengutamakan agar setiap mahasiswa bisa menyeleksi sendiri apakah pakaian dan alas kaki yang dikenakan, umum dan di terima oleh segenap warga FISIP atau tidak, mengingat etika mengenakan pakaian terkait erat bersama penasehatan kultural.
“Bagaimana kita mengenakan pakaian itu sifatnya lebih kepada penasehatan kultural. Etika itu kan suatu hal yang tidak mesti tertulis, tetapi you knowing and i’m also knowing. Indikator kesopanan siapa sih yang buat? Itu kan kesusahan dicari agar kita tidak bisa men-judge jenis-jenis pakaian, tetapi bertanyalah kepada diri sendiri, mengenakan slot habanero pakaian layaknya ini umum nggak untuk kuliah? Jadi jikalau saya, apapun jenis pakaiannya, kembali kembali ke rancangan keumuman. Ini umum nggak? Acceptable nggak? ” pungkasnya.
Kebebasan Tetap Ada Batasan
Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FISIP, Teguh menegaskan bahwa pihak fakultas tidak menginginkan mencampuri kehidupan teristimewa mahasiswanya bersama mengatur cara berpakaiannya. Dengan begitu, setiap mahasiswa bakal mengalami sistem pendewasaan dan bisa menempatkan diri, termasuk mengatur jenis pakaian bersama kala dan tempatnya.
“Kita sesungguhnya tidak menginginkan terlalu masuk di dalam intervening, di dalam private life of every students ya di universitas kita. Itu (kebebasan berpakaian) sesungguhnya sistem pendewasaan orang ya, selayaknya seorang mahasiswa bisa menempatkan diri. Kalau kuliah itu layaknya apa, jikalau bermain layaknya apa,” tegas Teguh.
Bagi lebih dari satu orang, cara mengenakan pakaian sering dikaitkan bersama kebebasan berekspresi. Kendati demikian, tetap banyak orang yang belum paham makna kebebasan ekspresi secara menyeluruh. Dzunuwanus Ghulam Manar, keliru satu dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan menyebutkan bahwa tidak tersedia kebebasan yang tidak mempunyai batasan.
“Kalau kita bicara kebebasan, siapa yang memilih kebebasan itu dan di mana batas kebebasan itu. Karena nggak tersedia kebebasan yang nggak tersedia batas. Kebebasan itu pasti tersedia batasnya,” paham Ghulam kala ditemui OPINI pada Selasa (30/05).
Imbauan Ada, Penegakan Belum Terlaksana
Imbauan etika mengenakan pakaian udah diperoleh setiap mahasiswa kala menyandang gelar mahasiswa baru FISIP Undip, yakni lewat imbauan berasal dari kakak tingkat di awal pembekalan. Selain itu, adanya plang saran mengenakan pakaian yang terpampang paham di dinding FISIP bersama letak strategis, menjadikan mahasiswa yang berlalu-lalang selayaknya bisa paham informasi tersebut. Meski begitu, pengawasan dan penegakan berasal dari pihak fakultas dinilai tetap kurang gara-gara pihak universitas yang menganggap bahwa semua mahasiswa udah paham bersama etika mengenakan pakaian di lingkungan kampus.
“Sebenarnya itu (etika berpakaian) udah paham dan udah disampaikan dikala awal mahasiswa masuk ke kampus. Cuman, kita melihat berasal dari perjalanan kala yang namanya enforcement atau penegakan ini kan kurang, menjadi kita kadang berpikir bahwa semua yang tersedia di universitas ini udah paham semua, nggak mesti tersedia mekanisme pengawasan dan penegakan,” imbuh Ghulam.
Instrumen Sosial Sebagai Tonggak Pengawasan
Saat penegakan dan pengawasan berasal dari pihak fakultas tetap abu-abu, maka instrumen sosial berperan penting agar setiap mahasiswa saling mengingatkan agar tercipta iklim berbusana yang sopan.
“Nah, dikala penegakan dan pengawasan tetap kurang, yang bisa berjalan apa? Yang bisa berjalan ya instrumen sosial. Kita saling mengingatkan, misalnya sesama mahasiswa saling mengingatkan,” malah Ghulam.
Selaras bersama apa yang disampaikan Ghulam, Teguh mengajak semua kaum terpelajar FISIP untuk mendukung slot bet 100 menggiring mahasiswa lainnya agar mereka pakai pakaian yang sesuai bersama budaya timur.
“So, justru saya minta tolong agar teman-teman ikut mendukung agar mendukung secara kultural, memperkuat budaya-budaya berbusana yang di terima di kalangan, sesuai bersama timing dan posisinya,” ajaknya.